Tuesday, December 12, 2017

Akad istisna dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan menggunakan kerangka sebuah metode yang di sebut usul fiqh.  Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi dengan pribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, negara, dan sebagainya. Awalnya cakupan muamalah didalam fiqih meliputi permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan peceraian. Akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia islam, khususnya di zaman utsmani (turki ottoman), terjadi perkembangan pembagian fiqh. Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian muamalah. Muamalah kemudian difahami sebagai hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut harta dan hak serta penyelesaian kasus diantara mereka.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang syumul. Kesyumulan Islam dibuktikan melalui perbincangan aktiviti muamalat yang menjadi tunjang bagi kehidupan harian manusia. Manusia tidak akan terlepas dari ikatan kontrak dan pertukaran. Kontrak pertukaran secara umumnya menjadi salah satu amalan dalam aktiviti ekonomi yang melibatkan hubungan dua hal. Pengaplikasian kontrak pertukaran ini dapat dilihat dalam aktiviti perniagaan dan perdagangan yang menjadi elemen penting dalam kehidupan berekonomi. Islam hadir dalam memberi garis panduan bagi aktiviti ini dalam memastikan wujudnya hubungan baik antara individu dalam masyarakat dan memelihara hak individu itu sendiri. Kontrak hendaklah dibina atas dasar amanah dan saling menghormati agar kesucian kontrak ini terpelihara. Hal ini dapat dilihat melalui firman Allah swt dalam surah al-Ma’idah:1 yang membawa maksud “Wahai orang-orang yang beriman, penuhi serta sempurnakanlah perjanjian-perjanjian”.
Jual beli Istishna’ menurut para ulama merupakan suatu jenis khusus dari akad Bai’ as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Pengertian Bai’ Istishna adalah akad jual barang pesanan diantara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belahpihak. Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, “mustashni”) dan penjual (pembuat, “shani”).
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istisnha’.
B. Masalah Atau Topik Bahasan
Masalah dan topik bahasan ini mengacu pada panduan umum penulisan karya ilmiah pada Institut Agama Islam Negeri Jember sebagai berikut:
Bab I yang berisikan tentang latar belakang, hal ini perlu ditulis dimaksudkan untuk mengantarkan pembaca pada masalah atau topik yang dibahas dalam makalah dan menunjukkan bahwa masalah atau topik tersebut memang perlu dibahas. Kemudian yang kedua adalah masalah atau topik bahasan guna untuk menjelaskan kerangka makalah yang akan dibuat. Dan yang terahir terdapat tujuan penulisan makalah yang mana menjelaskan tentang tujuan yang ingin dicapai dengan dibuatnya makalah tersebut.
Bab II berisikan tentang isi makalah. Isi ini adalah inti dari makalah, semua hal-hal yang dibahas disajikan pada bab ini, dengan terperinci dan jelas secara menyeluruh. Semua topik bahasan dikupas satu persatu agar masalah dapat terselesaikan.
Bab III adalah kesimpulan. Dari semua topik bahasan di bab ini disimpulkan, agar mudah dimengerti oleh pembaca kemudian di bab terakhir ini semua hasil pembahasan di bentuk secara ringkas dikumpulkan menjadi satu agar menemukan hasil akhir dari pokok bahasannya.
Ruang lingkup penulisan makalah ini hanya sebatas lembaga keuangan syariah, supaya pembaca mudah memahami apa yang dimaksudkan dalam makalah ini.
C. Tujuan Penulisan Makalah
makalah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi sebanyak-banyaknya tentang akad Istishna’ agar pembaca paham apa yang dimaksudkan dari makalah ini. sekaligus memberikan wawasan baru dan menambah ilmu untuk penulis dan pembaca.





















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishna’
Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani'). Shani’ akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati di mana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain (istishna’ paralel).
1. Jenis Istishna’
a. Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani').
b. Istishna’ Pararel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual dan pemesan, di mana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan oleh pemesan. Syaratnya akad istishna’ pertama (antara penjual dan pemesan) tidak bergantung pada istishna’ kedua (anatar penjual dan pemasok). Selain itu, akad anatara pemesan dengan penjual dan akad antara penjual dan pemesan harus terpisah dan penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama kontruksi
B. Dasar Hukum Istishna’
Dalam hadist dijelaskan :
1. Dari Abu Hazim, ia berkata: Ada beberapa lelaki datang kepada Sahal bin Sa’ad menanyakan tentang mimbar lalu ia menjawab: Rasululah saw mengutus seorang perempuan yang telah diberi nama oleh sahal, “Perintahkanlah budakmu yang tukang kayu, untuk membuatkan aku mimbar dimana aku duduk di atasnya ketika saya nasehat pada manusia.” Maka aku memerintahkan padanya untuk membuatkan dari pohon kayu. Kemudian tukang kayu datang dengan membawa mimbar, kemudian ia mengirimkannya pada Rasululah saw. Maka beliau perintahkan padanya untuk meletakkannya, maka Nabi duduk di atasnya. (HR Bukhari, Kitab al- Buyu’).
2. Amr bin ‘Auf berkata : “perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terkait dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.Tarmidzi).
C. Rukun Istishna’
Dalam mengerjakan suatu amal ibadah yang baik dan benar, tentunya dibutuhkan aturan yang mengatur bagaimana amalan tersebut dilakukan sehingga didapatkan ibadah yang baik dan benar. Rukun adalah ketentuan yang harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan/ibadah. Bila tidak terpenuhi maka ibadah/pekerjaan tersebut tidak sah (Harisandi, 2015).
Rukun-rukun istishna’ tidak jauh berbeda dengan rukun-rukun yang ada dalam jual beli. Rukun-rukun yang harus terpenuhi dalam akad istishna’ adalah sebagai berikut:
1. Pelaku akad, yaitu Mustashni’ (Pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan Shani’ (Penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
2. Objek akad, yaitu Mashnu’ (barang dan Jasa)
3. Shigaht, ijab dan qabul.
Terdapat beberapa kriteria ketika akad istishna’ dikerjakan, kriteria-kriterianya sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat bahwasanya orang melakkan transaksi akad jual beli harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Berakal. Dengan syarat tersebut maka anak kecil yang belum berakal tidak boleh melakukan transaksi jual beli, dan jika telah terjadi transaksinya tidak sah. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli itu harus telah baliqh dan berakal. Apabila orang yang bertransaksi itu masih mumayyiz, maka transaksi jual beli itu tidak sah. Sekalipun mendapat izin dari walinya.
b. Orang yang melakukan transaksi itu, adalah orang yang berbeda. Maksuddari syarat tersebut adalah bahwa seorang tidak boleh menjadi pembeli danpenjual pada waktu yang bersamaan (syaifullah, 2014: 377).
c. Pelaku harus paham hukum (nur hayati dan wasilah, 2015: 11)
2. Syarat yang diperjual belikan
Syarat yang diperjual belikan secara umum adalah sebagai berikut :
a. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat tetapi pihak penjual menyatakan sanggup untuk mengadakan baran tersebut.
b. Barang tersebut bermanfaat dan dapat dimanfaatkan bagi manusia. Oelh karena itu keluar dari syarat ini adalah menjual khamr dan bangkai hukumnya haram untuk diperjual belikan, karena tidak bermanfaaat bagi manusia menurut syariat islam.
c. Sudah dimiliki. Maksudnya adalah barang yang masih belum dimiliki tidak boleh diperjual belikan, seperti barang milik orang lain, menjual ikan yang masih di laut, emas yang masih didalam tanah, karena barang tersebut masih belum menjadi milik penjual (syaifullah, 2014: 378).
3. Ketentuan syariah objek akad istishna’
a. Ketentuan pembayaran adalah sebagai berikut:
1) Alat  bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang dan manfaat demikian juga dengan cara pembayarannya.
2) Harga yang ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.
3) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
4) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
b. Ketentuan barang adalah sebagai berikut:
1) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya ( jenis, ukuran, mutu, ) sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisihan dapat dihadapi.
2) Barang pesanan diserahkan kemudian.
3) Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
4) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual
5) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.
6) Dalam hal cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (memilih) untuk melanjutkan dan membatalkan akad.
7) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh membatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai kesepakatan (nur hayati dan wasilah, 2015: 119)
4. Ijab qobul (shigot) dalam akad jual beli
Ijab dan kabul sebagai salah satu rukun akad merupakan manifestasi kerelaan yang terdapat dalam batin seseorang. Namun harus dipahami juga bahwa dalam ijab dan kabul terdapat dua dimensi yang satu sama lain tidak terpisahkan, keduanya saling terpaut yaitu dimensi perijinan atau kerelaan dan ungkapannya berupa ijab dan kabul. Dimensi perijinan atau kerelaan merupakan substansi dari sebuah akad yang dijalin sedangkan ungkapan yang diwujudkan dengan ijab dan kabul adalah sarana atau penanda adanya kerelaan tersebut. Karena bersifat substansi, maka perijinan atau kerelaan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, batin dan berada dalam sanubari hati seseorang yang tidak mungkin bisa diketahui oleh orang lain.
Oleh karena itu, perlu ada perwujudan perijinan atau kerelaan tersebut dalam bentuk tanda yang dapat dipahami bahwa itu merupakan cerminan dari batin seseorang. Dari uraian ini, menurut Syamsul Anwar jelas bahwa yang dimaksud dengan shigot akad dalam rukun jual beli adalah “an taradhin ” yang diartikan sebagai kerelaan atau perijinan yang bersifat substansi. Sedangkan apa yang dimaksud dengan ungkapan atau ijab dan qabul tidak menjadi rukun, karena itu adalah hanya penenda dari yang bersifat subtansi di atas. Sebuah ungkapan ijab dan kabul tanpa adanya “ an taradhin ” dalam sebuah transaksi dinyatakan sebagai sebuah transaksi yang hampa, tanpa substansi. Hal ini sejalan dengan apa yang terungkap dalam Alquran surah An-Nisaa ayat 29 yang artinya: “Hai orang -orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa shigot ijab dan kabul yang menjadi salah satu rukun dalam sebuah transaksi merupakan media untuk memunculkan dan mendeskripsikan kehendak batin yang tersembunyi. Oleh karena itu, shigot ijab dan kabul bisa saja dilakukan berupa ucapan, tindakan atau perbuatan, isyarat dan juga tulisan.
Shigot akad ijab dan kabul berupa ucapan merupakan yang lazim dan biasa dilakukan oleh, terutama di tengah masyarakat yang masih bertransaksi secara tradisional dan memegang teguh budaya dan kebiasaan, seperti di daerah Kalimantan Selatan pada umumnya yang bermazhab Syafi ’i. Ada dua bentuk shigot akad berupa ucapan yaitu dengan kalimat yang jelas (kalimah sharih ) dan kalimat sindiran (kalimah kinayah). Kalimat yang jelas (sharih) adalah shigot jual beli yang mengandung makna jual beli, dan tidak ada arti yang lain seperti kalimat “saya jual kepada engkau barang ini dengan harga sekian” kemudian dijawab dengan kalimat “saya beli barang tersebut dari kamu dengan harga sekian”. Sedangkan sindiran (kinayah) adalah kalimat yang tidak hanya mengandung makna jual beli saja, namun juga mengandung makna lain. Apabila kalimat tersebut disertai dengan penyebutan harga maka kalimatnya menjadi sharih (rusdiyah, 2015: 199-200).
Shigot akad berupa perbuatan dalam literatur fiqih dikenal dengan konsep ta’athi atau Mua’atah. Yang dimaksud  dengan konsep  ini adalah bahwa para pihak yang bertransaksi tidak menggunakan kata, isyarat ataupun tulisan dalam menyatakan persetujuannya terhadap  transaksi yang mereka lakukan, namun dengan cara perbuatan  langsung untuk menutup transaksi yang mereka lakukan. Jual beli yang dilakukan dengan shigot akad seperti ini disebut dengan ba’i al – mu’athah. Praktik jual beli seperti ini biasa di lakukan di pasar-pasar modern seperti mall, swalayan, mini market, dan lain-lain yang mana  pembeli dan kasir sama-sama menyerahkan uang dan barang sebagai bukti terjadinya kesepakatan untuk bertransaksi tanpa mengeluarkan kata-kata yang merupakan bentuk shigot akad.
Shigot akad berupa isyarat adalah salah satu cara untuk mengungkapkan kehendak bertransaksi melalui isyarat yang dapat dipahami. Dengan demikian, bentuk isyarat merupakan solusi bagi pihak yang bisu untuk menggantikan kedudukan ucapan dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan hal ini menurut Hasbi ash-Shiddieqy ada kaidah yang ditetapkan yang maknanya adalah bahwa isyarat bagi orang yang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan penjelasan menggunakan lidah). Penggunaan isyarat sebagai shigot akad menurut Syamsul Anwar harus memenuhi kriteria berupa isyarat yang dapat dipahami yaitu jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kepada suatu kehendak untuk melakukan transaksi (ibid: 201).
Shigot akad dengan tulisan adalah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan akad dengan melalui sebuah tulisan. Kedudukan tulisan ini sesuai dengan kaidah fikih yang artinya bahwa tulisan sama dengan ucapan. Pilihan untuk melakukan shigot akad dengan tulisan ini muncul dari kenyataan bahwa para pihak yang ingin melakukan sebuah transaksi berada pada tempat yang saling berjauhan, tidak pada satu tempat (satu majelis), sehingga komunikasi transaksi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam praktiknya, apabila ada seseorang yang berada pada tempat yang jauh dengan pemilik barang dan mereka sepakat untuk menjalin komunikasi transaksi, maka ijab dan kabul bisa dilakukan pada tempat yang terpisah berupa ijab dalam bentuk tulisan disampaikan kepada pihak lain dan menerima pernyataannya (qabul) pada tempat dia menerima tulisan itu, maka transaksinya dinyatakan sah, bahkan selama tulisan itu masih ada pada pihak yang menerima (qabul) maka transaksinya tetap dinyatkan sah walaupun yang menerima tidak menyatakan penerimaannya di tempat dia menerima tulisan tersebut (ibid: 202)
D. Syarat-Syarat Istishna’
Berkaitan dengan syarat istishna’, kalangan hanafiyah mensyaratkan tiga hal agar istishna’ sah. Tiga syarat ini apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka akad istishna’ dianggap rusak atau batal.
1. Barang yang menjadi objek istishna harus jelas, baik jenis, macam , kadar dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istishna rusak. Karena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya; bahan, jenis, mode, ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya serta hal-hal yang terkait dengan barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang bertransaksi.
2. Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, perabotan rumah, furnitur dan sebagainya.
3. Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan maka dikategorikan sebagai akad salam (musthofa, 2016: 96-97).
Adapun syarat-syarat lainnya yaitu, sebagai berikut:
1. Produsen dan pemesan (shani dan mustashni) paham dengan hukum, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak ingkar janji.
2. Produsen (shani) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat barang yang dipesan.













BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwasanya akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/ mustashni') dan penjual (pembuat/shani'). Shani’ akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati di mana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain (istishna’ paralel)

No comments:

Post a Comment